Tampilkan postingan dengan label Kualitatif. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kualitatif. Tampilkan semua postingan

Dramaturgis

Kamis, 08 April 2010

Dramaturgis dari hasil pengamatan selama 3 hari (diary sheet), yaitu:

Front Stage

1. Berwibawa
2. Karismatik
3. Bersahaja
4. Sopan
5. Pandai Berbicara


Middle Stage

1. Jabatan dalam Paroki (tempat bertugas)
2. Lamanya ditabiskan
3. Lamanya bekarya
4. Tugas dan wewenang tiap pastor di tempat tugasnya

Back Stage
1. Ramah
2. Berasal dari daerah Timor
3. Cita-cita dari kecil
4. Pandai Bergaul
5. Pintar Melobi


Diary Sheet

Hari/tanggal : Minggu, 29 November 2009
Jam : 06.00 – 07.00 WIB dan 08.00 – 08.30 WIB
Tempat : a. Gereja Paroki St. Mikael, Kranji, Bekasi Selatan (6.00 – 7.00)
b. Kantin Gereja.(08.00 – 08.30)

Pengamatan
• Pukul 06.00 – 07.00 WIB
“Tepat pukul 6 pagi saya bersama keluarga saya mengikuti misa minggu pagi. Diawali lagu pembukaan, arak-arakan pastor berserta misdinar (anak-anak pembantu pastor), lektor (pembaca kitab suci) dan pemazmur (penyanyi pujian) masuk ke dalam Gereja. Arak-arak kan pun sampai di muka altar. Pastor naik ke altar dan menundukan kepala disertai tundukan kepala seluruh umat. Lalu, pastor pun menyapa umatnya…
“Dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus.”
”Amin.”
”Tuhan sertamu.”
”dan sertamu juga.”
Dilanjukan dengan sapaan selamat pagi kepada para umat dan dilanjutkan dengan pembacaan tema misa pada hari minggu, 29 November 2009. Pemeriksaan batin dan doa pengakuan dosa pun dibacakan oleh pastor dan diikuti oleh seluruh umat. Tak lama setelah doa pengakuan dosa umat pun menyanyikan lagu Tuhan Kasianilah Kami. Sesaat setelah lagu berakhir, pastor membacakan doa pembukaan. Setelah doa pembukaan umat pun duduk untuk mendengarkan firman Tuhan. Kedua bacaan firman Tuhan di bacakan oleh Lektor sambil diselangi oleh nyanyian Mazmur oleh Pemazmur. Sewaktu pembacaan firman Tuhan, pastor ikut mengamati bacaan dari lembaran misa. Beliau pun ikut bernyanyi saat Pemazmur menyanyikan Mazmur. Setelah itu, pastor menuju mimbar (meja untuk membaca Alkitab) untuk membacakan Bacaan Injil. Khotbah yang berisikan mengenai kesiapan umat Katolik untuk menyambut Natal sebagai kelahiran Tuhan Yesus disampaikan oleh beliau. Setelah khotbah selesai pastor mengajak umat berdiri sambil menyampaikan iman kepercayaan lewat doa Aku Percaya. Doa Umat pun didoakan oleh Lektor dan dilanjutkan dengan pemberian persembahan.
Setelah persembahan, pastor membacakan aklamasi sebelum memulai doa Syukur Agung. Saat doa Syukur Agung, umat berlutut pambil berdoa dengan khusuk, apalagi saat pastor melakukan Konsekrasi (pengangkan sibori dan piala). Selesainya doa Syukur Agung, umat menyanyikan lagu Bapa Kami dan setelah itu umat bersiap-siap untuk menyambut komuni. Komuni pun berlangsung dengan lancar dan teratur. Selesainya komuni, doa untuk para Imam dibacakan umat secara bersama didampingi oleh komentator. Setelah itu, pastor mengajak umat berdiri untuk membacakan doa Penutup. Pembacaan pengumuman mengenai kegiatan Gereja oleh Komentator. Sewaktu pengumunan Gereja dibacakan, pastor duduk membalik-balik sebuah map berwarna hijau dan sesekali mengelap dahinya dengan sapu tangan. Wajahnya terlihat agak lelah. Selesainya pembacaan pengumuman, pastor memberikan pesan kepada umatnya untuk persiapan Natal. Misa pun berakhir dengan pemberian Berkat Akhir oleh pastor. Lagu penutup menhantarkan pastor dan arak-arakan menuju pintu keluar.

• Pukul 08.00 – 08.30 WIB
Satu jam berlalu setelah berakhirnya misa pagi. Pastor melepas kasula (jubah di luar) dan hanya pengenakan jubah putih. Beliau pergi berkeliling Gereja untuk menyapa dan bersalaman dengan para umat. Beliau berkeliling mulai dari bagian depan Gereja hingga kantor-kantor instansi Gereja.

Tepat pukul 08.00 beliau berada di kantin dekat dengan Graha St. Mikael, Kranji (tempat setiap pertemuan diadakan). Di sana beliau menghampiri sebuah tenda kecil tempat ibu-ibu WKRI (Wanita Katolik Republik Indonesia) berjualan kue-kue dan pakaian. Sekitar 10 menit kemudian, seorang ibu mengenakan pakaian berwarna merah datang menghampiri pastor. Ibu tersebut menyapa dan bersalam dengan pastor. Ia pun bercakap-cakap dengan pastor hingga kurang lebih 15 menit lamanya. Setelah bercakap-cakap dengan ibu tersebut, pastor menuju ke Graha St. Mikael untuk mengunjungi seminar mengenai Osteoporosis yang diadakan oleh panitia Natal.


Hari/tanggal : Sabtu, 5 Desember 2009
Jam : 17.30 – 18.45 WIB dan 19.00 – 19.30 WIB
Tempat : a. Gereja Paroki St. Mikael, Kranji, Bekasi Selatan (17.30 – 18.45)
b. Sayap Kanan Luar Gereja (19.00 – 19.30)

Pengamatan

• Pukul 17.30 – 18.45 WIB
Misa hari ini (Sabtu, 5 Desember 2009) saya bertugas sebagai anggota koor. Misa sedikit berbeda dari biasanya. Hal ini dikarenakan pastor yang bertugas tidak hanya seorang melainkan dua orang pastor (pastor kepala dan pastor pembantu). Misa berjalan sama seperti bisanya. Tetapi, saat pastor kepala akan memulai khotbah, beliau terlebih dahulu mengenalkan pastor yang satunya.
”Umat terkasih, pastilah kalian bertanya-tanya siapa manusia yang berdiri di sudut sebelah sana.” kata pastor kepala. ”Mari kita dengarkan perkenalan dari manusia di sana.”
Mendengarkan kata-kata pastor kepala, umat bertawa.
”Perkenalkan nama saya ... Saya berasal dari daerah Timor Barat yang masih merupakan daerah Indonesia. Saya masuk seminari menengah di Timor Barat dan pindah ke Malang saat seminari tinggi. Saya ditabiskan menjadi Iman pada tahun 2006. Setelah ditabiskan saya ditugaskan sebuah paroki di Kalimanta. Disana saya bertugas selama 2 tahun dan menurut SK provisiat SVD, saya dipindahkan ke paroki St. Mikael, Kranji. Kini saya menjadi pastor pembantu di paroki ini.” kata pastor pembantu.
Lalu, saat doa Syukur Agung, pastor kepala dan pastor pembantu sama-sama memimpin konsekrasi secara bergantian. Dan misa hari ini berakhir dengan lancar dan khimat.

• Pukul 19.00 – 19.30 WIB
Selesai misa berlangsung, pastor kepala melepas kastolanya dan hanya mengenakan jubah putih. Sekitar 5 menit setelah berganti pakaian, 3 orang anak muda datang menghampiri beliau. Mereka bersalaman dengan pastor kepala. Mereka pun mengobrol dan bersedang gurau dengan pastor kepala. Selang 10 menit kemudian seorang bapak dan anak perempuannya datang menghampiri beliau untuk bersalaman dan menyapa beliau.
”Malam Romo.”
”Malam bapak. Tadi koornya bagus sekali nyanyinya.” kata pastor kepala.
”Ah, terima kasih Romo.”
”Kok ini Cuma berdua saja. Mana Ibunya?” pastor kepala bertanya dimana istri dari bapak tersebut.
Bapak tersebut mengatakan bahwa istrinya akan pergi ke Gereja besok pagi sebab kini istrinya menjaga anaknya yang sedang sakit. Pastor kepala itu pun menitipkan salam kepada istri dari bapak tersebut. Bapak dan anak perempuannya pamit pulang. Tetapi, beliau tetap meneruskan obrolannya dengan 4 orang anak muda sebelumnya.


Hari/tanggal : Minggu, 6 Desember 2009
Jam : 10.15 – 10.45 WIB
Tempat : Halaman Gereja St. Mikael, Kranji

Pengamatan
Seperti biasanya, sehabis misa, pastor yang hanya mengenakan jubah putih, berkeliling-keliling untuk menyapa para umatnya. Di halaman Gereja pastor bertemu dengan para dewan paroki. Mereka membicarakan mengenai pembangunan Gereja yang tengah berjalan di Gereja St. Mikael, Kranji. Sekitar 15 menit kemudian, sekumpulan anak muda (sekitar 5 orang) datang menghampiri pastor tersebut.
”Siang Romo”
”Siang anak-anak. Wah, ini dari mana?”
”Biasa Romo baru selesai rapat Legio (perkumpulan doa dengan Devosi kepada Bunda Maria).”
”Rajin-rajin sekali ya anak-anak muda sekarang. Ini mau apa?”
”Mau mengembalikan patung Romo. Duluan ya Romo”
”Ya silakan. Itu temannya yang satu teman saya setiap misa pagi.” kata beliau sembari tertawa.

Kumpulan anak muda tersebut pergi meninggalkan pastor tersebut. Beliau kembali melanjutkan obrolannya dengan dewan paroki. Selang 10 menit kemudian, pastor tersebut pamit pergi ke Graha St. Mikael. Di Graha beliau diminta sebagai moderator dalam kursus perkawinan.

Analisis Wawancara Kualitatif

Teori Komunikasi Kelompok Model Chesbro, Cragan, dan McCullough

• Kesadaran diri akan identitas baru, dalam kesadaran akan suatu identitas baru. Kaum homoseksual, anggota-anggota yang berkumpul dalam suatu kelompok terdiri dari karakteristik yang mirip sebagai dasar pembentukan kelompok. Karekteristik yang mirip ini akan menciptakan sebuah komunikasi yang bergairah karena adanya kesamaan cerita antara anggota yang satu dengan yang lain, seperti perasaan dimana anggota-anggota kelompok tersebut memiliki pemikiran yang sama sehingga cenderung merasa dihargai.

• Menegakkan nila-nilai baru bagi kelompok, pada tahapan ini akan tercipta sebuah aturan atau pengertian baru yang dianggap kelompoknya “benar” meskipun itu bertentangan dengan aturan atau norma yang telah ada di masyarakat pada umumnya. Nilai-nilai baru ini sengaja diciptakan oleh anggota-anggota kelompok homoseksual untuk melegalkan apa yang dilakukan.


Wawancara 1
T: ”Jadi kamu kalau mau eksis itu dimana?”
J: ”Aku sih biasanya itu kak apa join ke komunitas-komunitas itu. Toh juga aku ketemu cowokku disitu. ”
T: “Oh, jadi ada ya komunitas-komunitas itu.”
J: ”Sebenarnya sih banyak kak. Ya cuma eeee nggak terlalu diekspose paling yang uda terkenal aja diekspose. Kan masyarakat juga masih ada yang belum ada yang nerima dengan keadaan kita yang begini.”
T: ”Ada aturannya nggak sih di komunitas itu?”
J: ”Aturan yang penting si ya kita benar-benar gay (raut muka berubah menjadi sedih dan tegang).”


Wawancara 2
T: ”Nggak sih. Eh, mau tanya deh. Kamu bisa kenalan sama Jay dari mana tuh? Kan beda sekolah.”
J: Hmm.. Dari komunitas-komunitas ’hombreng-hombreng’ gitu. (pambil memainkan topi yang digunakan)
T: “Kok nggak takut sih gabung-gabung komunitas kayak gitu. Kan masih SMA. Apa nggak ngerasa terlalu muda banget untuk gabung dengan hal-hal kayak gitu?”
J: ”Ah, nggak lah. Kayaknya saya pikir juga banyak juga yang seusia seumuran dalam komunitas itu. Nggak masalah itu. Kan tidak terbatas usia.”
T: ”Berarti untuk bisa masuk tuh ada aturan tertentu nggak sih di komunitas itu?”
J: ”Ya kalau aturannya sih fleksible ya nggak rumit banget ya. (sambil membetulkan topi yang digunakannya) Sama kayak kita gabung sama kelompok-kelompok atau grup ya pada umumnya aja. Yang jelas tu kita harus bisa mengatur waktu. Ada ngadain grup itu atau komunitas itu ngadain suatu apa itu (berbicara sambil menggerakan tangan) suatu pertemuan ya acara. Ya kita dateng. Ya uda kita sama-sama saling mendukung aja.”

Analisis
Dari kedua wawancara diatas dapat disimpulkan:

1. Bahwa terdapat adanya kelompok komunitas homoseksual dimana para anggotanya memiliki karakteristik yang mirip. Selain itu, terdapat adanya kesamaan cerita, perasaan, serta latar belakang yang membuat para anggotanya merasa dihargai satu sama lain. Sehingga, menimbulkan rasa yang nyaman saat berkomunikasi dalam kelompok tanpa harus menutupi perasaan yang merasa disikirkan dan dianggap aneh.

2. Adanya aturan yang berlaku dalam komunitas homosesual yang dianggap “benar” oleh para anggotanya, walaupun aturan tersebut bertentangan dengan aturan/norma yang ada dalam masyarakat. Hal tersebut terlihat dari adanya aturan dasar bagi para anggotanya yakni ia harus seorang homosexual atau gay dimana para anggotanya menerimanya dengan baik tanpa memandang sebelah mata.

Wawancara Kualitatif

Rabu, 07 April 2010

Wawancara 1

Nama : Jay (bukan nama sebenarnya)

Umur : 18 tahun

Sekolah: Salah satu sekolah swasta di Jakarta


T: ”Halo apa kabar?”

J: ”Baik kak.”

T: ”Gimana sekolahnya?”

J: ”Lancar donk. Doain lulus ya.” (bibir tersenyum)

T: ”Amin didoain pasti lulus. Tapi ngomong-ngomong ya, masih sama si ’itu’ nggak?”

.J: ”Masih sih kak. Sama si ’itu’ uda hampir setahun.” (sambil menggaruk-garukan tangan)

T: ”Awet juga ya. Dia satu sekolah kan ya kalau nggak salah?”

J: ”Iya tapi beda kelas.”

T: ”Terus teman-teman kamu uda tahu belum hubungan kalian berdua?”

J: ”Nggak tahu sih. Tapi, cuma dua sahabat aku aja yang tahu. Toh juga mereka tahunya aku being man (suara terdengar tidak jelas. Raut muka berubah menjadi lebih kaku.) kan dari SMP.”

T: “Jadi uda nggak masalah ya?”

J: ”Iya.”

T: ”Terus kalau kamu mau nih misalnya ngobrol sama dia biar nggak ketahuan gimana caranya?”

J: ”Hhmm.. Di sekolah sih nggak pernah berduaan. Ya kayak teman biasa aja. Paling ke kantin bareng atau gimana gitu. Tapi kalau makan juga rame-rame sih sama teman-teman yang lain jadi nggak keliatan itunya.”

T: ”Kalau selain dia ada nggak sih sebenarnya teman-teman yang lain, ’ntah ketemu dimana?”

J: ”Kalau aku sih nggak tahu kak yang curiga atau nggak ya kayaknya sih pada nggak tahu. Soalnya kita juga nggal terlalu ekspose di sekolah.”

T: ”Jadi kamu kalau mau eksis itu dimana?”

J: ”Aku sih biasanya itu kak apa join ke komunitas-komunitas itu. Toh juga aku ketemu cowokku disitu. ”

(Kesadaran diri akan identitas baru, dalam kesadaran akan suatu identitas baru. Kaum homoseksual, anggota-anggota yang berkumpul dalam suatu kelompok terdiri dari karakteristik yang mirip sebagai dasar pembentukan kelompok. Karekteristik yang mirip ini akan menciptakan sebuah komunikasi yang bergairah karena adanya kesamaan cerita antara anggota yang satu dengan yang lain, seperti perasaan dimana anggota-anggota kelompok tersebut memiliki pemikiran yang sama sehingga cenderung merasa dihargai. Chesebro, Cragan, dan McCullough)

T: “Oh, jadi ada ya komunitas-komunitas itu.”

J: ”Sebenarnya sih banyak kak. Ya cuma eeee nggak terlalu diekspose paling yang uda terkenal aja diekspose. Kan masyarakat juga masih ada yang belum ada yang nerima dengan keadaan kita yang begini.”

T: ”Ada aturannya nggak sih di komunitas itu?”

J: ”Aturan yang penting si ya kita benar-benar gay (raut muka berubah menjadi sedih dan tegang).”

(Menegakkan nila-nilai baru bagi kelompok, pada tahapan ini akan tercipta sebuah aturan atau pengertian baru yang dianggap kelompoknya “benar” meskipun itu bertentangan dengan aturan atau norma yangtelah ada di masyarakat pada umumnya. Nilai-nilai baru ini sengaja diciptakan oleh anggota-anggota kelompok homoseksual untuk melegalkan apa yang dilakukan. Chesebro, Cragan, dan McCullough)

T: ”Kalau untuk kan gini, yang namanya komunitas jadi nggak mungkin donk kita mau pakai nama asli kita. Ada nggak nama lain?”

J: ”Kalau aku sih biasanya dipanggil JAY.”

(Nama diri sendiri adalah symbol utama dan pertama bagi seseorang. Nama pribadi adalah unsur penting dalam identitas seseorang dalam masyarakat, karena interaksi dimulai dari nama dan baru kemudian diikuti dengan atribut2 lainya. Sumber: Prof. Deddy Mulyana, M.A, Ph.D, Buku Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, halaman 305)

T: Dari nama asli kamu.

J: Heeh. (sambil mengangukan kepala)

T: Makasih ya.

J: Sama-sama kak.


Wawancara 2

Nama : Cocit (bukan nama sebenarnya)

Umur : 16 tahun

Sekolah: Salah satu sekolah negeri di Jakarta


J: ”Halo!” (sambil menyodorkan tangan)

T: ”Apa kabar?” (sambil berjabat tangan)

J: ”Baik kak.”

T: ”Temannya Jay ya?”

J: ”Oh, iya bener.” (kepala bergerak ke kiri- ke kanan)

T: ”Satu sekolah sama sih?”

J: ”Nggak.” (kepala bergerak ke kiri- ke kanan)

T: ”Oh, nggak satu sekolah. Tadi Jay uda hubungan kamu duluan ya kalau aku mau datang ke rumah kamu ni?”

J: ”Heeh benar. Tadi ketemu dimana sama di Jay?” (tangan terangkat ke samping seperti menunjuk sesuatu)

T: ”Ada sih. Kemarin kan aku baru dari rumahnya Jay. Terus aku bilang aku lagi butuh lah sama ya butuh sesuatulah. Makanya aku kesini.”

J: ”Oh. Tadi kesini nyasar nggak?”

T: ”Nggak sih. Eh, mau tanya deh. Kamu bisa kenalan sama Jay dari mana tuh? Kan beda sekolah.”

J: Hmm.. Dari komunitas-komunitas ’hombreng-hombreng’ gitu. (pambil memainkan topi yang digunakan)

(Kesadaran diri akan identitas baru, dalam kesadaran akan suatu identitas baru. Kaum homoseksual, anggota-anggota yang berkumpul dalam suatu kelompok terdiri dari karakteristik yang mirip sebagai dasar pembentukan kelompok. Karekteristik yang mirip ini akan menciptakan sebuah komunikasi yang bergairah karena adanya kesamaan cerita antara anggota yang satu dengan yang lain, seperti perasaan dimana anggota-anggota kelompok tersebut memiliki pemikiran yang sama sehingga cenderung merasa dihargai. Chesebro, Cragan, dan McCullough)

T: “Heeh.. (dengan muka bingung) Oh.. ya ya..(sambil menganggukan kepala)”

J: “Ya tahu lah. … (suara terdengar tidak jelas) Kita disitu saling kenalan-kenalan dari beberapa penjuru daerah-daerah akhirnya gwe bisa ketemu Jay disitu.”

T: “Kok nggak takut sih gabung-gabung comunitas kayak gitu. Kan masih SMA. Apa nggak ngerasa terlalu muda banget untuk gabung dengan hal-hal kayak gitu?”

J: ”Ah, nggak lah. Kayaknya saya pikir juga banyak juga yang seusia seumuran dalam komunitas itu. Nggak masalah itu. Kan tidak terbatas usia.”

T: ”Berarti untuk bisa masuk tuh ada aturan tertentu nggak sih di komunitas itu?”

J: ”Ya kalau aturannya sih fleksible ya nggak rumit banget ya. (sambil membetulkan topi yang digunakannya) Sama kayak kita gabung sama kelompok-kelompok atau grup ya pada umumnya aja. Yang jelas tu kita harus bisa mengatur waktu. Ada ngadain grup itu atau komunitas itu ngadain suatu apa itu (berbicara sambil menggerakan tangan) suatu pertemuan ya acara. Ya kita dateng. Ya uda kita sama-sama saling mendukung aja.

(Menegakkan nila-nilai baru bagi kelompok, pada tahapan ini akan tercipta sebuah aturan atau pengertian baru yang dianggap kelompoknya “benar” meskipun itu bertentangan dengan aturan atau norma yangtelah ada di masyarakat pada umumnya. Nilai-nilai baru ini sengaja diciptakan oleh anggota-anggota kelompok homoseksual untuk melegalkan apa yang dilakukan. Chesebro, Cragan, dan McCullough)

T: ”Kalau untuk biasanya kan ada yang namanya suka berubah. Apa juga suka berubah nama untuk menutupi nama sabenarnya juga salah satu aturannya?”

J: “Oh.. Kalau dari gwe sendiri sih nggak pernah bikin nama. Tapi kalau dari anak-anak ada yang manggil gwe sih dengan nama COCIT.”

(Nama diri sendiri adalah symbol utama dan pertama bagi seseorang. Nama pribadi adalah unsure penting dalam identitas seseorang dalam masyarakat, karena interaksi dimulai dari nama dan baru kemudian diikuti dengan atribut2 lainya. Sumber: Prof. Deddy Mulyana, M.A, Ph.D, Buku Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, halaman 305)

T: “Apa itu COCIT? Sosis apa nama?” (sambil tertawa)

J: ”COCIT itu dari ’so sweet’ gitu. Kalau ada yang mau nangis tu ’so sweet banget’ gitu deh.” (sambil mengerakan tangannya) … (kata-kata terdengar tidak jelas)

T: “Ya deh pasti ’so sweet banget’. Ya uda makasi ya. Mau balik dulu uda sore ni.”

J: “Kalau ada temannya kenalin ya.” (sambil menjabat tangan)

T: “Ok. Sip.”