Kehidupan Nelayan

Rabu, 07 April 2010


Bapak Suwarno (36 tahun)
Bapak yang satu ini berasal dari Indramayu. Pamannyalah yang mengajarkan ia teknik menggunakan kail dan jala dalam menangkap ikan sejak ia berumur 14 tahun. Berbekat keahliannya menangkap ikan, akhirnya beliau memutuskan menjadi seorang nelayan sebagai mata pencahariannya. Pada usia 16 tahun Bapak Suwarno memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya. Ia mencoba peruntungannya dengan menjadi kuli mengangkut jala dan ikan hasil tangkapan milik nelayan lainya. Pekerjaan tersebut dijalaninya selama 3 tahun. Akhirnya pada akhir tahun 1991 seorang temannya menawarkan ia pekerjaan yang lebih baik dari pada bekerja sebelumnya. Akhirnya Bapak Suwarno dapat mewujudkan impiannya yakni menjadi seorang nelayan sejati. Walaupun ia harus membayar sewa kapal dan membagi hasil tangkapannya dengan temannya, ia tetap bersyukur dan senang melakukan pekerjaannya. Hingga akhirnyalah setelah 4 tahun ia memutuskan untuk meninggal Indramayu dan mencoba peruntungan di laut lainya. Pantai Pangandaran ialah tempat perantauran yang dipilih Bapak Suwarno sebab teman-teman seprofesinya banyak yang mencoba peruntungan disana dan mendapatkan hasil yang baik. Di sanalah Bapak Suwarno menemukan pelabuhan hatinya. Ia bertemu dengan seorang wanita cantik yang kini telah memberinya 3 orang anak. Ternyata pendapatan yang didapatkan Bapak Suwarno tidak sesuai yang diharapkannya. Penghasilan yang didapatkaanya hanya cukup untuk kehidupan sehari-harinya. Ia bisa saja mendapatkan penghasilan lebih, tetapi ia harus meninggalkan keluarganya selama beberapa hari. Namun ia tidak mau melakukann hal tersebut. Sewaktu ia kembali ke kampung halamannya ia bertemu dengan teman kecilnya. Temannya inilah yang mengajak ia untuk menjadi ’penarik’ perahu di Pantai Ancol, Jakarta Utara. Ia pun mau menerima ajakan temannya. Hingga kini akhirnya Bapak Suwarno masih menjalani profesinya sebagai ’penarik’ perahu, walaupun terkadang ia juga masih mecari ikan di laut.

Bapak Tono (36 tahun)
Bapak Tono marupakan sahabat dari Bapak Suwarno. Beliau berasal dari daerah yang sama, yakni Indramayu. Persahabatanya dengan Bapak Suwarno dimulai sejak mereka bertemu sebagai kuli angkut jala dan ikan hasil tangkapan di Indramayu. Tetapi, pekerjaan sebagai kuli angkut jala dan ikan hasil tanggapan hanya bertahan selama 2 tahun. Beliau merasa pekerjaan yang dilakukannya tidak sesuai dengan kata hatinya. Beliau berkeinan menjadi seorang nelayan yang menangkap ikan bukan kuli angkut jala dan ikan hasil tangkapan. Lalu beliau memutuskan untuk ikut naik ke kapal dagang yang berangkat dari Indramayu menuju Muara Karang, Jakarta. Hal yang membuat ia memutuskan untuk hijrah ke Jakarta ialah impiannya mendapatkan penghasilan yang lebih baik dari sebelumnya. Sesampainya di Muara Angke, Jakarta ia mencoba mencari nelayan lain yang butuh tenaga tambahan untuk mencari ikan. Hampir tiga hari ia belum mendapatkan orang yang membutuhkan jasanya, hingga akhirnya ia bertemu dengan Bapak Achmad, seorang nelayan yang membutuhka teman dalam setiap perjalannya menangkat ikan. Dari Bapak Amat (panggilah akrab Bapak Achmad) ini keahliannya dalam menggunakan jala dan kail lebih terasah. Tak terasa sudah 1,5 tahun beliau berada di Jakarta sejak meninggalkan kampung halamannya. Beliau merasa keputusan untuk meninggalkan Indramayu hal yang benar. Ia pun lalu menikah dan kini dikaruniai 2 orang anak yang kini berumur 12 tahun dan 9 tahun. Pekerjaan sebagai nelayan masih ia jalani hingga 7 tahun kedepan. Tetapi, semakin berambahnya usia kedua buah hatinya pendapatan yang di dapatkannya mulai dirasa kurang. Walaupun cukup untuk biaya hidup, tetapi ia takut bila nanti ia tidak dapat memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anaknya. Ia pun memutuskan untuk berpindah dari Muara Angke ke Pantai Ancol bersama dengan Bapak Achmad sahabatnya. Dari situlah ia mengganti profesinya dari nelayan hingga kini menjadi ‘penarik’ perahu.

Bapak Achmad
Bapak Achmad atau yang biasa dikenal dengan Bapak Mamat ialah sahabat karib Bapak Tono sewaktu mereka bersama-sama menjadi nelayan di Muara Angke. Bapak Mamat sendiri memulai pekerjaannya sebagai nelayan sejak ia kecil. Beliau memang lahir dan besar di dearah Muara Angke. Sehingga menjala dan mengkail ikan bukanlah hal yang asing baginya. Sejak berusia 7 tahun ayahnya sering mengajak Bapak Mamat mencari ikan di laut. Dari situlah beliau ingin menjadi seorang nelayan sama seperti ayahnya. Walaupun sejak kecil beliau sering pergi melaut bukan bearti beliau selalu mendapatkan banyak hasil tangkapan. Tidak jarang beliau hanya mendapatkan sedikit ikan atau bahkan jika cuaca tidak mendukung beliau tidak mendapatkan ikan sama sekali. Biasanya Bapak Mamat selalu pergi bersama temannya untuk pergi mencari ikan. Namun sejak beliau ditinggal temannya merantau ke pulau seberang, beliau merasa kesulitan jika harus melaut seorang diri. Suatu ketika beliau bertemu dengan Bapak Tono yang sedang mencari pekerjaan. Disitulah Bapak Mamat mengajak Bapak Tono untuk membantu melaut dan bersahabatan mereka dimulai. Hingga akhirnya semakin banyaknya saingan dan semakin sedikinnya ikan yang ditangkap membuat Bapak Tono mengajak Bapak Mamat untuk mengubah haluannya dari pekerjaannya menjadi nelayan hingga ’penarik’ perahu. Bapak Mamat menerima ajakan Bapak Tono untuk mengubah pekerjaannya. Kini Bapak Mamat bekerja sebagai ’penarik’ perahu. Walaupun terkadang ia tetap pergi mencari ikan di laut. Ia melakukan hal tersebut sebab beliau terkadang merasa rindu dengan rutinitasnya sebagai nelayan.

Analisa Data

Dari data yang didapatkan dapat diketahui bahwa ada beberapa hal yang mempengaruhi kehidupan para nelayan khususnya di daerah Pantai Ancol, Jakarta Utara. Salah satu faktor yang mempengaruhi kehidupan mereka ialah pengalaman hidup yang dialami oleh nelayan sendiri, yakni suka dan duka yang mereka hadapi selama mereka melakukan pekerjaannya sebagai nelayan. Tidak hanya pengalaman saja, kemajuan dunia yang terus-menerus pun membuat para nelayan untuk lebih membuka pandangannya akan makna suatu kehidupan yang tengah mereka jalani. Hal itulah yang membuat mereka untuk mengganti profesi yang semula menjadi seorang nelayan nelayan hingga menjadi ‘penarik’ perahu.

Hal positif (suka) para nelayan, yakni Bapak Warochman, Bapak Safrudin, Bapak Suwarno, Bapak Tono, dan Bapak Achmad pada saat mereka menjadi nelayan. Pertama, mereka mengakui bahwa mereka sangat menyukai berlayar di tengah lautan yang begitu luas, mereka senang melihat pemandangan yang ada di laut pada saat pagi hingga malam hari sehingga mereka merasa sangat senang untuk terus menjadi nelayan. Kedua, penghasilan yang di dapatkan untuk seorang nelayan cukup untuk menghidupi anak – anak dan istri mereka, dan mereka dapat menyekolahkan anak – anak mereka hingga lulus SMA (Sekolah Menengah Atas). Ketiga, mereka bisa berkeliling ke banyak pulau yang berada di Indonesia pada saat mereka berlayar mencari ikan, cumi – cumi, udang, kepiting, dan tangkapan hasil laut lainnya. Keempat, mereka dari segi berelasi atau dari segi sosial, mereka dapat lebih mengenal banyak orang, dan lebih banyak teman, kerena pada saat di kapal mereka akan selalu bersama selama berhari – hari, berminggu-minggu, bahkan sampai berbulan – bulan.

Selama melakukan pekerjaannya ada hal – hal negatif (duka) yang dialami para nelayan pada saat mereka berprofesi sebagai nelayan. Pertama, para nelayan mengalami kesulitan berkomunikasi dengan istri dan anak – anaknya, untuk berhubungan langsung dengan sanak keluarganya yang berada di kampung mereka harus menunggu mereka berhenti di suatu pulau dan mereka pergi ke wartel untuk dapat menghubungi keluarganya yang berada di kampung. Kedua, jika salah satu anggota keluarga mereka ada yang sedang sakit mereka akan sangat cemas akan keadaan mereka, dan yang paling ironisnya mereka harus segera pulang ke kampung halaman mereka untuk melihat atau menjenguk keluarga mereka yang mengalami sakit keras.

Walaupun telah mengganti profesi mereka bukan bearti mereka tidak senang dalam menjalani profesi baru mereka. Hal-hal positif (suka) yang dialami oleh para nelayan setelah mereka berpindah profesi menjadi ’penarik’ kapal di Pantai Marina, Ancol. Pertama, nelayan tersebut tetap dapat merasakan keindahan lautan yang mereka dapat rasakan pada saat mereka menjadi nelayan dulu. Kedua, mereka dapat lebih mudah mengirimkan uang kepada keluarga, mereka lebih mudah berkomunikasi untuk mendapatkan kabar dari sanak keluarga mereka untuk mengetahui keadaan keluarga mereka yang berada di kampung. Ketiga, mereka tetap bisa mendapatkan banyak teman di Pantai Ancol tersebut, walaupun tidak sebanyak pada saat mereka menjadi nelayan dulu. Karena ’penarik’ kapal di pantai Ancol tidak terlalu banyak.

Selain itu ada hal negatif ( duka ) yang dialami para nelayan setelah menjadi penarik kapal di pantai Ancol. Pertama, para penarik nelayan mendapatkan penghasilan yang tidak menentu setiap harinya, penghasilan yang didapatkan bergantung dari hari tersebut, jika hari Minggu, hari libur dan hari besar lainnya mereka dapat mendaptakan hasil yang cukup banyak sehingga mereka dapat mengirimkan uang hasil penghasilan mereka dapat dikirmkan kepada keluarga mereka yang berada di kampung. Jika hari tersebut hari biasa, penghasilan para penarik perahu tersebut hanya cukup untuk biaya kehidupan mereka di Jakarta dan itupun hanya untuk makan, untuk tempat tinggal mereka tinggal di kapal yang mereka miliki sekarang ini.


0 komentar: