10 Desember 2008
Ditengah gemerlapnya kota Jakarta sebuah gapura bergaya ukiran Sunda dengan tulisan “Gedung Pertunjukan Miss Tjitjih” berdiri tegak di pinggir Jalan Jenderal Soeprapto,
Alunan musik tradisional Sunda bergema ke seluruh ruangan. Petikan kecapi, tabuhan gendang, gesekan sitar dan irama gamelan mengiringi beberapa orang yang tengah berperan di atas panggung. Tampak seorang pemain berpakaian khas Sunda, lalu ada pula yang berpakaian bak pangeran zaman kerajaan. Lakon yang dimainkan malam ini adalah Hidup didalam Kubur.
Tak banyak penonton malam itu. Hanya sekitar 30 orang. Meskipun demikian, para pemain tetap bersemangat. Mereka tidak memperdulikan sedikitnya jumlah penonton. Tujuan mereka hanya satu, yakni menghibur para penonton dengan sandiwara tradisional khas tanah Pasundan.
Asal Mula Teater Miss Tjitjih
Awalnya kelompok sandiwara ini bernama Opera Valencia yang bisa menyuguhkan cerita Melayu dan cerita lainnya yang bertajuk drama musikal. Pertunjukan yang dilakukan pun tidak hanya di satu tempat saja, tetapi berkeliling. Penonton yang menontonnya mayoritas orang Belanda
Hingga ketika sedang mengadakan pertunjukan di Jawa Barat, seorang perempuan muda bernama Tjitjih diajak bergabung dalam kelompok sandiwara ini. Tjitjih sangat mahir bersandiwara, menari, dan menyinden. Hal itulah yang membuat Tjitjih menjadi primadona. ”Dulu orang-orang bilangnya mau nonton Si Tjitjih bukan nonton Opera Valencia. Ya akhirnya nama Opera Valensia berubah menjadi Miss Tjitjih dan diresmikan pada tahun 1928,” tutur Maman Sutarman yang akrab disapa Mang Esek.
Kelompok Sandiwara Miss Tjitjih telah berdiri selama kurang lebih 80 tahun. Mulai sejak tahun 1928 hingga kini, Kelompok Sandiwara Miss Tjitjih sudah tiga kali berpindah tempat. Pertama berada di Jalan Kramat Raya No.43 sebelah gedung Bioskop Rivoli, kemudian pindah ke daerah Muara Angke, Jembatan V, dan pada tahun 1987 hingga kini menetap di Jalan Cempaka Baru, Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Sewaktu tahun 1997 terjadi kebakaran di daerah Cempaka Putih gedung kesenian Miss Tjitjih ikut terbakar dan baru tahun 2004 gedung kesenian tersebut selesai diperbaiki. Tidak hanya itu saja dibelakang gedung kesenian tersebut terdapat sebuah bangunan lainnya, seperti asrama yang digunakan sebagai tempat tinggal para pemain.
Dialog yang digunakan dulunya berbahasa Melayu. Namun sejak bergabungnya Tjitjih dalam kelompok sandiwara bahasa yang digunakan ialah Bahasa Sunda. Kini bahasa dialog yang digunakan mengalami pergeseran kembali, yakni menggunakan campuran Sunda—Betawi. Hal tersebut dikarenakan bahasa Betawi hampir sama dengan Bahasa Melayu dan mudah dimengerti oleh para penonton.
Awalnya jalan cerita yang dimainkan mengenai cerita-cerita Melayu maupun Sunda. Hingga akhirnya cerita Sunda di gabungkan dengan cerita horror. “Miss Tjitjih dari tahun 1928 juga udah bawa cerita-cerita horror, kayak Beranak Dalam Kubur atau Si Manis Jembatan Ancol. Semuanya kita tampilin sebelum ada di televisi. Lagian masyrakat sukanya cerita yang berbau horror,” kata Mang Esek. Hal itulah yang membuat Sandiwara Miss Tjitjih sarat dengan cerita horror dan hal yang berbau mistis.
Tangis Pilu Miss Tjitjih
Kini perasaan Miss Tjitjih menjadi gundah gulana dan sedih lantaran sekali melakukan pertujukan gedung besar tersebut terasa semakin lenggan sebab sedikitnya pengunjung yang datang.
Sewaktu masih berada di daerah Kramat Raya, saat pementasan lakon Beranak Dalam Kubur mendapat perhatian besar bagi masyarakat. Para penonton rela antri berjam-jam demi mendapatkan tiket. Parkir mobil pun hingga ke gedung bioskop sebelah, yakni Bioskop Rivoli. Begitu juga saat pementasan lakon yang berjudul Jembatan Sirotol Mustakim yang dilakukan tiga kali setiap harinya tetap diminati banyak penonton. Hingga sewaktu hujan turun deras penonron tetap rela mengantri tiket. Mebludaknya penonton tidak hanya sebulan saja, tetapi hingga 3 bulan. “Benar-benar masa kejayaan Miss Tjitjih,” kenang Mang Esek.
Setelah ditinggali penonton, Sandiwara Miss Tjitjih terlihat memprihatinkan. Pertujukan Sandiwara Miss Tjitjih yang dulunya dipentaskan setiap hari lama-kelamaan hanya bisa dipentaskan seminggu sekali, yakni tiap malam minggu. Penonton yang dating pun hanya berkisar 10 hingga 30 orang dari 100 bangku yang tersedia. Keadaan memprihatikan itulah yang seakan-akan membuat Tjitjih menangis pilu.
Walaupun pamor Sandiwara Miss Tjitjih kian surut, namun regenerasi di dalam kelompok ini tetap berlangsung. Kini banyak anak muda yang ingin meneruskan tradisi budaya dalam sandiwara ini. Tidak sedikit munculnya wajah-wajah yang muda belia dalam kelompok sandiwara ini. Kebanyakan dari generasi muda tersebut mengetahui sandiwara Miss Tjitjih lewat orang tua mereka. Belum lagi adanya tradisi turun menurun yang memang diwariskan orang tua kepada anaknya untuk melanjutkan melestarikan tradisi dalam Sandiwara Miss Tjitjih.
Kini para pemain Sandiwara Miss Tjitjih tidak mementingkan berapa banyaknya penonton yang datang. Yang mereka pikirkan ialah bagaimana sandiwara ini tetap dikenal oleh banyak orang. Selain it kesetian terhadap Miss Tjitjih bukan lagi soal materi, tatepi sudah menjadi bagian dari hidup mereka yang harus tetap dilestarikan.
.
0 komentar:
Posting Komentar