3.1 Posisi Kasus
Kasus ini bermulai ketika pada tahun 1972 PT Portanigra membeli sejumlah tanah berukuran 44 Ha dari warga Meruya Udik yang Semarang sudad berganti nama menjadi wlayah Meruya Selatan. Tanah ini dibeli oleh PT Portanigra sejumlah Rp 300.000 per meternya. Transaksi jual beli ini diwakili oleh Juhri Bin Geni yang saat itu merupakan mandor dari tanah yang akan dijual tersebut.
Setelah terjadinya transaksi jual beli, Portanigra pasif dalam menunggu keluarnya Surat Persetujuan Prinsip Pembebasan Lahan/ Lokasi (SP3L) yang seharusnya diterbitkan oleh Gubernur DKI.
Tetapi ternyata pada tahun 1974 Juhri menjual kembali tanah yang seharusnya sudad menjadi hak Malik PT Portanigra tersebut. Penjualan ini diakui Juhri karena ia dimina untuk menjualnya atas perintah Camat Kebon Jeruk yang . Sakhirnya Juhri pun menjual tanah tersebut dengan nominal sebesar Rp 200.000,00 per meternya lepada beberapa pihak lain, yaitu: Pemda sebesar 15 Ha pada tahun 1974, PT Labarata sebesar 4 Ha pada tahun 1974, Intercon sebesar 2 Ha pada tahun 1975, Copylas sebesar 2,5 Ha pada tahun 1975, Junus Djafar sebesar 2,2 Ha pada tahun 1975, serta lepada Bank Rakyat Indonesia (BRI) sebesar 3,5 Ha pada tahun 1977.
Portanigra yang mendengar bahwa tanah yang memang sudah menjadi hak miliknya dijual kepada orang lain pun menjerat Juhri, Yahya Bin Geni (saudara Juhri) , dan Tugono atas penjualan kembali tanah-tanah tersebut. Jeratan ini didasari oeh penipuan, pealsuan, dan penggelapan. Juhri didakwa atas penggunaan surat palsu, Yahya Bin Geni didakwa karena menggunakan akta seolah-olah isinya cocok dengan asli, dan Tugono didakwa karena melakukan penggelapan dengan menyuruh memasukkan keteranan palsu dalam akta, agar dapat dijual Demi keuntungannya sendiri.
Kemudian ketiganya diputus bersalah dan mendapatkan hukuman penjara. Juhri dihukum selama satu tahun ditingkat Pengadilan Negeri pada 1 November 1985, Yahya dihukum Pengadilan Negeri pada tanggal 2 Desember 1987 selama dua bulan, dan Tygono yang membawa perlara ini ingá tingkat kasaso akhrnya dihukum penjara satu tahun.
Setelah dihukum, Juhri Cs berjanji akan mengembalikan tanah-tanah tersebut. Tetapi ternyata kanji itu hanya sekedar janji dan hal tersebut tidak terealisasi, bosan menunggu akhirnya Portanigra menggugat Juhri, Yahya, dan Tugono secara Perdata pada tahun 1996. Gugatan Perdata yang dilakukan secara bertahap ini diajukan berbekal putusan perlara pidana pengadilan atas ketiganya. Dalam kedua gugatannya Portanigra juga mengajukan permohonan sita jaminan atas tanah mereka seluas 44 Ha.
Permohonan sita jaminan dikabulkan oleh hakim dengan penetapan sita jaminan No. 161/Pdt/G/1996/PN.Jkt.Bar tanggal 24 Maret 1997 dimasukkan dalam berita acara sita jaminan tanggal 1 April 1997 dan tanggal 7 April 1997. Pengadilan Negeri pada tanggal 24 April 1997 menyatakan gugatan PT Portanigra tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard--N/O) karena tidak menyertakan para pemilik tanah lainnya di atas tanah sengketa tersebut.Hakim juga memerintahkan pengangkatan sita jaminan tersebut. Pengadilan Tinggi menolak banding Portanigra dan menguatkan putusan Pengadilan Negeri. Namun, di tingkat kasasi, MA membatalkan putusan PN dan PT serta memutuskan untuk mengadili sendiri. Berdasarkan putusan Kasasi No. 570/K/Pdt/1999 jo.No.161/Pdt.G/1996/PN.JKT.BAR, Mahkamah Agung menerima kasasi PT Portanigra. Pertimbangannya antara lain ialah bahwa pihak ketiga akan dapat melakukan bantahan (verzet) terhadap sita jaminan atau pelaksanaan eksekusi bila memiliki bukti untuk mempertahankan haknya.
Ketika PT Portanigra akan melaksanakan eksekusi atas tanah tersebut, setelah mendapat penetapan dari pengadilan Jakarta Barat pada tahun 2007, dia memperoleh perlawanan dari masyarakat, dan berbagai institusi pihak ketiga, yang memiliki tanda bukti hak atas tanah tersebut. Tanda bukti hak yang dimiliki perorangan, maupun institusi beragam mulai dari hak milik, hak pakai, hak guna usaha dan sebagian diletakkan dengan hak tanggungan. Perlawanan yang diajukan oleh pemegang hak atas tanah (yang sifatnya tidak melalui jalur hukum seperti verzet) memperoleh dukungan moral dan politis dari berbagai lapisan masyarakat seperti Parlemen, Pemda, Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) dan lain-lain. Karena kasus ini, telah melebar dan meluas melebihi porsi hukum dan khususnya keperdataan, dan mulai mengarah ke hal-hal yang berkaitan dengan stabilitas, politik, keamanan dan lain-lain, akhirnya PT Portanigra untuk sementara setuju untuk tidak melaksanakan eksekusi.
3.2 Pasal-pasal
3.2.1 Pasal yang digunakan masyarakat meruya untuk melawan Putusan MA
pasal 208 jo pasal 207 HIR
Pasal 207 HIR
Ayat 1 : Perlawanan dari debitor terhadap pelaksanaan baik dalam hal – hal penyitaan barang bergerak maupun penyitaan barang tetap, diajukan oleh pelawan kepada ketua pengadilan negeri yang tersebut dalam pasal 195 (6) HIR , baik dengan lisan maupun dengan tertulis. Dalam hal dengan lisan maka ketua mencatat atau menyuruh mencatat hal itu.
Ayat 2 : Perkara itu akan diperiksa oleh pengadilan negeri dalam siding yang akan datang, dan diputus setelah mendengar kedua belah pihak, setidak tidaknya setelah mereka dipanggil dengan patut.
Ayat 3 : keberatan atau perlawanan ini, tidak menghentikan permulaan atau kelanjutan dari eksekusi , kecuali kalau ketua memerintahkan untuk menundanya dengan menunggu putusan.
Pasal 208 HIR
Ayat 1 : peraturan dalam pasal 207 tersebut diatas, juga berlaku terhadap perlawanan dari pihak ketiga atas dasar hak milik terhadap eksekusi itu.
Ayat 2 : terhadap putusan putusan mengenai ayat tersebut diatas dan pasal 207, berlaku peraturan peraturan umum tentang banding.
3.2.2 UUPA No.5 Tahun1960
Pasal 19 Bagian II Pendaftraan Tanah
(1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik
(2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:
a. pengukuran perpetaan dan pengukuran tanah.
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.
c. pemberian surat-surat tanda buktihak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
(3) Pendaftaraan tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.
(4) Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termasuk dalam ayat (1) diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.
3.3 Mafia Pertanahan di Indonesia
Banyak sekali kasus mafia pertanahan yang terjadi di Indonesia. Badan Pertanahan Nasional mendata sebanyak 11 juta hektare lahan di seluruh Indonesia terlantar dan tidak bersertifikat pada tahun 2008. Lahan tersebut justru banyak dikuasai oleh pemilik modal dan mafia pertanahan. Hal ini disebabkan oleh administrasi pertanahan Indonesia yang sampai saat ini banyak menyimpan masalah dan membuka peluang bagi para mafia pertanahan untuk membuka lahan pekerjaannya. Mafia pertanahan ini kemudian membuat aksinya termasuk dengan cara memalsukan dokumen penting. Aksi mafia pertanahan ini sangatlah berbahaya sebab hal ini bisa merugikan banyak pihak, termasuk negara. Merebaknya aksi mafia pertanahan ini patut diwaspadai. Apalagi mafia pertanahan sungguh terampil menerobos pertahanan penegakan hukum.
3.4 Kaitan Kasus Persengketaan Tanah di Meruya dengan Mafia Tanah
Kasus persengketaan tanah antara Portanigra dengan warga meruya ini merupakan salah satu buah kerja dari maraknya mafia pertanahan yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh tidak teraturnya sistem administrasi pertanahan di Indonesia. Sertifikat tanah yang diberikan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) kepada warga Meruya adalah sertifikat yang seharusnya tidak pernah diberikan karena memang tanah itu bukan milik Pemprov DKI Jakarta melainkan PT Portanigra yang sebelumnya sudah membeli tanah itu pada tahun 1972.
Rinciannya sertifikat untuk hak Milik yang diberikan kepada warga Meruya berjumlah 4.228 dan sertifikat hak guna bangunan berjumlah 1.908 bidang dan sertifikat hak pakai berjumlah 90 bidang diatas lokasi tanah tersebut. Dari semua sertifikat yang diberikan itu ada pula yang digunakan sebagai jaminan yaitu sertifikat hak Milik 451 bidang dan hak sertifikat guna bangunan 312 bidang.
Dalam kasus ini baik warga Meruya dan Portanigra adalah sama-sama korban yang dirugikan dari persengketaan yang terjadi. Mereka semua adalah korban dari mafia pertanahan Indonesia yang memberikan sertifikat yang seharusnya tidak boleh diberikan menilik dari keaslian pemilik tanah tersebut.
Jika dilihat lebih dalam ada beberapa kesalahan yang menjadikan kasus ini buah kerja mafia pertanahan. Kelompok pertama adalah Juhri, Tugono dan Yahya Geni. Mereka inilah orang yang telah menjual lahan Meruya Selatan tersebut kepada Portanigra, namun setelah itu dia memalsukan surat-surat tanah tersebut dan menjual kembali pada pihak-pihak lainnya. Masalah ini sebenarnya dulu sempat mencuat dan meresahkan ibukota. Kopkamtib yang saat itu diketuai oleh Sudomo pun turun tangan melalui badan yang disebut Opstib (operasi tertib) yang kemudian menyita girik palsu dan diserahkan ke Kejaksaan Jakarta Barat dan Selatan. Setelah melalui proses girik palsu itu diserahkan ke pengadilan dan Juhri Cs divonis penjara. Barang bukti diserahkan kepada yang berhak yakni Porta Nigra dan girik palsunya dimusnahkan. Rupanya saat proses persidangan berjalan, tanah tersebut diperjual-belikan dan dibangun warga. Ribuan warga bahkan kemudian mendapat sertifikat dari BPN. Entah dari mana sumber girik yang mereka dapatkan untuk kemudian dijadikan sertifikat. Padahal, girik aslinya sudah dikembalikan pada Porta Nigra, sedangkan girik palsu sudah dimusnahkan.
Disinilah ditemukan adanya mafia pertanahan didalam kasus ini. Dari penjelasan diatas timbulah beberapa pertanyaan, yaitu: (1) Apakah girik palsu yang dibilang telah dimusnahkan benar-bena dimusnahka? Atau ternyata girik itu malah dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu yang dengan sengaja mengambil keuntungan untuk dirinya. (2) Bagaimana mana mungkin Badan Pertanahan Nasional masih mengeluarkan sertifikat tanah pada periode 1997-Dari sini pula muncul berbagai pemikiran dan kecurigaan adanya permainan antara oknum aparat pemerintahan dengan pihak ketiga sehingga mempermulus hal ilegal tersebut dan berhasil menipu ribuan warga Meruya.
3.5 Landasan Mahkamah Agung menerima gugatan PT Portanigra
Banyak sekali kejanggalan-kejanggalan hukum yang terjadi di dalam kasus persengketaan tanah antara PT Portanigra dan Warga Meruya. Salah satunya adalah ditermanya kasasi Portanigra oleh Mahkamah Agung yang mengumumkan tanah sebesar 44 Ha adalah tanah milik Portanigra.
Dalam putusan Kasasi Pengadilan Negeri Jakarta Barat memutuskan pada 1 April 2007 dan 24 April 1997 bahwa gugatan Portanigra tidak dapat diterima. Alasan majelis antara lain gugatan kurang pihak karena Portanigra tidak menyertakan para pemilik tanah lainnya diatas tanah sengketa tersebut. Selain itu, pihak Pengadilan Negeri mempertimbangkan masalah kepemilikan tanah sebab saat Pengadilan Negeri memeriksa kepemilikan tanah didapati bahwa di atas tanah tersebut terdapat bangunan Malik orang lain yang bukan milik PT Portanigra maupun Juhri Cs. Masalahnya para Hakim kasasi menganggap pertimbangan Pengeadilan Negeri mengenai pihak ketiga tidak diterima karena kurangnya pihak dianggap tidak berdasar. Kesalahan lainnya dilakukan oleh para jurusita sebab mereka tidak mencatat bahwa terdapat bangunan diatas tanah itu. Sehingga antara Pengadilan Negeri dengan para jurusita terdapat kesalahan persepsi. Pengadilan Negeri melihat adanya pihak ketiga, sedangkan jurusita tidak mencatatnya adanya pihak ketiga.
Hakim juga memerintahkan pengangkatan sita jaminan tersebut. Pengadilan Tinggi Jakarta juga menolak banding Portanigra dan menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
Karena merasa tak puas dan dirugikan akhirnya Portanigra mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Barulah pada tingkat Kasasi ini MA menerima gugatan Portanigra untuk sebagian. Dalam putusan Kasasi No. 570/K/Pdt/1999jo.No.161/Pdt.G/1996/PN.JKT.BAR bertanggal 31 Maret 2000, MA membatalkan putusan PN dan PT serta memutuskan untuk mengadili sendiri. Pertimbangan dari Mahkaham Agung antara lain ialah pihak ketiga akan dapat melakukan bantahan/verzet terhadap sita jaminan atau pelaksanaan eksekusi bila memiliki bukti untuk mempertahankan haknya. Juhri Cs juga tidak membantah dalil Portanigra.
Terdapat beberapa pertimbangan dalam hasil putusan MA yang menjadi acuan MA dalam keputusannya yang memenangkan Portanigra untuk melakukan eksekusi terhadap tanah di Meruya, yaitu:
· Bahwa dalam berita acara sita jaminan yang dilaksanakan oleh Jurusita Pengadilan Negeri Jakarta Barat (PK.1 s/d PK.25) tidak ada catatan adanya bangunan-bangunan/ rumah-rumah milik pihak ke III dan pelaksanaan sita. Jaminan tersebut telah didaftarkan di Kantor Badan Pertanahan Nasional Jakarta Barat. Hal tersebut bertentangan dengan pertimbangan hukum judex facti yang mempetimbangkan sebaliknya.
· Bahwa seandainya ada bangunan-bangunan atau rumah-rumah diatas tanah sengketa, maka pemilik bangunan-bangunan/ rumah-rumah tersebut dapat mengajukan bantahan/ verzet terhadap sita jaminan atau pelaksanaan eksekusi bila mereka mempunyai bukti-bukti untuk mempertahankan haknya bila dilakukan pengosongan terhadap yang menguasai tanpa hak
· Bahwa selain itu terhadap pokok sengketa/ pokok perkara tentang hak-hak Portanigra atas objek sengketa, sudah ada jawaban Juhri dan Yahya, telah diajukan daftar surat-surat bukti dari Portanigra dan bukti-bukti dari Juhri Cs serta saksi-saksi dari Portanigra, tetapi judex facti belum memutus pokok perkara, maka oleh karenanya Mahkamah Agung akan memutus pokok sengketa dalam tingkat kasasi berdasarkan bukti-bukti yang diajukan oleh kedua belah pihak tersebut (vide pasal 50 (2), pasal 51 (2) Undang-Undang No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung)
· Bahwa selain alasan-alasan tersebut diatas, maka mengingat akan atas pemeriksaan yang cepat dan murah Mahkamah Agung akan memutus pokok sengketa dalam tingkat kasasi
· Bahwa oleh karena Juhri Cs tidak secara tegas membantah gugatan dan bukti-bukti Portanigra, bahkan pihak Juhri Cs sebagai termohon kasasi dalam contra memori kasasinya tertanggal 14 Agustus 1998 mengakui/ membenarkan dalil-dalil Pemohon Kasasi dan juga mendukung agar tanah-tanah sengketa diserahkan kepada Pemohon kasasi yang telah membayar ganti rugi/ membeli tanah tersebut kepada pemilik dan pemegang girk tanah-tanah sengketa.
Salah satu dasar putusan Mahkamah Agung adalah sita jaminan yang ditetapkan pengadilan atas 44 hektar lahan tersebut. Begitu pula dengan bukti jual beli dan kasus pidana Juhri yang menjadi landasan putusan.
0 komentar:
Posting Komentar